Pada tanggal 6 Februari lalu, Konrad Adenauer Stiftung menyelenggarakan diskusi panel dengan Tema „Jerman 1989, Indonesia 1998. Dua Negara, dua Revolusi“. Dua mahasiswi muda dari Jerman dan Indonesia menuliskan blog mengenai kesan-kesan mereka.
(Silakan lihat dibawah untuk Blog versi Bahasa Jerman)
Dua Negara, Dua Revolusi!
Blog oleh Metaliana Sumerta Putri
Tanggal 6 Februari 2012 merupakan hari yang spesial bagi mahasiswa Universitas Udayana, khususnya bagi mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik. Pada hari tersebut kami diundang untuk hadir ke sebuah acara diskusi yang mengambil sebuah tema yaitu Dua Negara, Dua Revolusi yang dilaksanakan oleh Konrad-Adenanuer- Foundation. Acara diskusi tersebut dilaksanakan di lantai tiga Gedung Pasca Sarjana Universitas Udayana dan dimulai dari pukul 08.00 pagi. Dalam diskusi tersebut diundang pula dua pembicara yang masing – masing berasal dari Jerman dan Indonesia yaitu Profesor Peter Schiwy dan Bapak Wimar Witoelar. Dr. Jan Woischnik, yang merupakan Direktur Konrad-Adenaneur-Foundation Indonesia dan Timor Timur serta Prof. Gede Wirawan yang merupakan Pembantu Rektor II Universitas Udayana hadir sebagai moderator diskusi. Acara diskusi dibuka dengan pertunjukan tari Bali.
Setelah acara pembukaan selesai, acara diskusi pun dimulai. Profesor Peter Schiwy sebagai pembicara pertama menjelaskan sejarah adanya Tembok Berlin hingga runtuhnya serta perjuangan warga Jerman untuk meraih kemerdekaannya yang ditandai dengan Revolusi Jerman di tahun 1989. Sebagai pembicara kedua, yaitu Bapak Wimar Witoelar menjelaskan tentang Revolusi Indonesia pada tahun 1998 serta pengaruh media dalam kehidupan politik. Dari presentasi kedua pembicara tersebut hal inti yang dibahas adalah perbandingan perkembangan antara Jerman di tahun 1989 dan Indonesia di tahun 1998. Rakyat Jerman yang awalnya hidup damai akhirnya harus dipisahkan oleh sebuah tembok besar yang memisahkan antara Jerman Barat dan Jerman Timur sebagai dampak dari adanya pengaruh dari dua ideology besar yaitu komunis dan kapitalis yang ingin mengambil alih kekuasaan di masing - masing wilayah Negara tersebut. Namun karena adanya keinginan untuk bersatu dan menumbangkan rezim diktator akhirnya rakyat Jerman melakukan demonstrasi dan perjuangan yang cukup berat. Begitu banyak warga yang ditembak mati karena berusaha untuk melewati Tembok Berlin. Namun karena adanya rasa persatuan yang besar akhirnya tembok tersebut berhasil diruntuhkan dan rakyat Jerman pun kembali bersatu. Dan tidak jauh berbeda dengan revolusi di Indonesia, dimana rakyat Indonesia merasa jenuh dengan rezim penguasa yang sudah memerintah dengan kediktatorannya selama 32 tahun. Presiden Soeharto yang mana merupakan presiden kedua RI dianggap terlalu banyak mengekang hak azasi warga Negara Indonesia. Tidak ada yang boleh melanggar peraturan yang telah di buat baik salah maupun ada yang menyimpang, peran media juga sangat terbatas pada hal2 yang baik tentang pemerintah dan hanya terdapat satu stasiun televisi yaitu stasiun televisi pemerintahan. Karena tidak tahan dengan sikap pemimpinnya, rakyat Indonesia pun sangat merindukan sosok pemimpin baru yang lebih menghargai hak – hak warga negaranya serta melaksanakan demokrasi. Pada bulan Mei 1998 terjadilah aksi demonstrasi dimana – dimana serta aksi anarkisme mahasiswa yang ingin segera mendapatkan kebebasan. Karena tidak dapat membendung aksi dari para warga serta mengingat terdapat masalah inflasi yang cukup besar di Indonesia akhirnya Soeharto menyatakan pengunduran dirinya sebagai presiden melalui pidato terakhirnya. Dan setelah tumbangnya rezim Soeharto, warga Negara merasa lebih bebas dalam berpendapat dan mendapatkan hak – hak azasi mereka. Pada masa itu peran media pun lebih bebas dan banyak terbit stasiun – stasiun tv swasta.
Dalam diskusi tersebut juga terdapat sesi tanya jawab, dimana para audiens yang sangat antusias dalam menyimak diskusi ingin menanyakan lebih detail lagi mengenai revolusi di kedua Negara tersebut. Salah satunya adalah Santhi Pradayini Savitri yang menanyakan “bahwa bagaimana peran kaum muda dalam revolusi Jerman?”
Pertanyaan di atas pun dijawab oleh Profesor Peter Schiwy, bahwa karena keikutsertaan kaum muda pulalah Revolusi Jerman dapat terwujud.
Pada hari yang sama, setelah diskusi usai dilaksanakan, acara kemudian dilanjutkan dengan pembukaan pameran foto dengan tema yang sama yaitu Revolusi Indonesia dan Revolusi Jerman. Pameran tersebut dilangsungkan di Lantai Dasar Gedung Pasca Sarjana selama sepuluh hari. Dengan tempat yang strategis serta tampilan yang dkemas secara kreatif, begitu banyak pengunjung yang hadir dan tertarik untuk melihat serta membaca artikel yang dipajang dalam pameran tersebut.
Tidak jarang yang bertanya dan saling bertukar informasi mengenai revolusi kedua Negara tersebut. Salah satunya adalah Bu Gerry, seorang dosen yang bercerita tentang betapa sedihnya beliau ketika datang langsung ke Tembok Berlin di Jerman seakan – akan ia mengalami bagaimana peristiwa pada tahun 1989 tersebut terjadi. Dan ia mengatakan sangat tertarik untuk melihat pameran tersebut. Selain itu ada pula pengunjung yang bernama Putu Widya Astiti yang mengatakan bahwa pemimpin yang menjunjung demokrasi itu perlu namun tetap mempunyai sikap yang tegas dalam mengatur bangsanya.
Demikianlah sekilas laporan mengenai diskusi serta pemeran tentang Revolusi Jerman pada tahun 1989 dan Indonesia pada tahun 1998.
Von Mauern und Reformen
Ein Blog von Ines Burghardt (Uni Marburg)
Eine balinesische Begrüßung
Was man als junger Mensch von alten Mauern und neuen Reformen lernen kann, haben 150 indonesische Studierende und ich am vergangenen Montag, den 6. Februar an der Udayana Universität in Denpasar auf Bali erfahren. Dort eröffnete die Konrad-Adenauer-Stiftung mit einer Podiumsdiskussion die Ausstellung „Die Mauer. Eine Grenze durch Deutschland“.
Podium und Ausstellung reihen sich in das Veranstaltungsprogramm von JERIN (Jerman dan Indonesia/Deutschland und Indonesien) ein. Damit werden 60 Jahren diplomatische Beziehungen zwischen beiden Ländern auf vielfältige Art gefeiert, sichtbar gemacht und gefestigt. Von Oktober 2011 bis Juni 2012 finden im Rahmen von JERIN weitere Veranstaltungen in ganz Indonesien statt, mehr Informationen gibt es hier
Die Podiumsdiskussion bot mit Wimar Witoelar und Prof. Peter Schiwy zwei Vollblutjournalisten und Diskussionspartner auf Augenhöhe. Abgerundet wurde das Podium durch Moderator Dr. Jan Woischnik, Leiter der Konrad-Adenauer-Stiftung für Indonesien und Ost-Timor, sowie den Vizepräsidenten der Udayana Universität Prof. I Gede Putu Wirawan, der die Teilnehmerinnen und Teilnehmer offiziell willkommen hieß. Als Rahmenprogramm hatten die Verantwortlichen der Udayana Universität außerdem eine traditionelle balinesische Tanzaufführung organisiert.
Eine Begegnung zwischen Zeitzeugen...
Die Diskussion, die sich sowohl mit der ehemaligen innerdeutschen Grenze, als auch mit dem Regimewechsel im Mai 1998 in Indonesien beschäftigte, lebte von der detaillierten und persönlichen Darstellung beider Referenten. Während Peter Schiwy erzählte, dass er vom Mauerfall durch eine Änderung des Radioprogramms des NDR, dessen Intendant er zu diesem Zeitpunkt war, erfahren habe, erreichten die Umwälzungen in Indonesien Wimar Witoelar ähnlich überraschend. Keiner der beiden hatte mit derart schnellen Veränderungen gerechnet. Gerade für meine Generation, die zu den Ereignissen doch einen eher historischen Bezug hat, sind persönliche Informationen besonders spannend und wertvoll.
Im weiteren Verlauf der Diskussion wurde herausgestellt, dass ein Vergleich der Entwicklungen in Deutschland 1989 und in Indonesien 1998 an vielen Stellen nicht möglich sei. Über die Gründe für den Rücktritt Suhartos könne man bis heute beispielsweise nur spekulieren, wie Witoelar angab. Festzuhalten bleibe allerdings, dass Suharto selbst diesen Schritt gewählt habe. In der DDR hingegen sei die Regierung durch die friedlichen Montagsdemonstrationen immer mehr unter Druck geraten. Die Öffnung der Mauer muss, nach Peter Schiwy, als Reaktion hierauf verstanden werden.
Besonders ausführlich diskutierten die Referenten, bedingt durch ihren Berufsstand, die Rolle der Medien. Beide halten eine freie Berichterstattung in politischen Umbruchphasen für entscheidend. Beide haben nach der Wende völlig unterschiedliche Aufgaben übernommen. Während sich Wimar Witoelar nach dem Fall Suhartos aktiv am politischen Geschehen der sich neu entwickelten Demokratie Indonesiens beteiligte, indem er Pressesprecher des Präsidenten Abdurrahman Wahid wurde, sah Peter Schiwy seine Aufgabe eher in der Entwicklung eines neuen Kommunikationskonzeptes für die ehemalige DDR.
Witoelar und Schiwy waren demnach, wie sie im Laufe der Diskussion immer wieder versicherten, überrascht und glücklich über die Umbrüche in ihren Heimatländern, wenngleich sich bei Peter Schiwy nach der ersten Euphorie auch Ängste einschlichen. Er fürchtete eine nachträgliche Reaktion der Sowjetunion. Deren fast gleichgültige Aufgabe der DDR erschien ihm, als gebürtigem West-Berliner, zunächst doch sehr unglaubwürdig.
...und Hoffnungsträgern
Nachdem beide Redner ihre persönlichen Erfahrungen geschildert hatten, wurde die Diskussion für Fragen aus dem Publikum geöffnet. Diese richteten sich einerseits kritisch an die Referenten. Anderseits wurde nach deren Einschätzung konkreter historischer Ereignisse gefragt.
So zum Beispiel äußerte ein Studierender seine Bedenken bezüglich der Fokussierung auf politische Prozesse während der Umbruchphasen. Seiner Meinung nach müsse vor allem auch die ökonomische Entwicklung mit einbezogen werden. Die beiden Referenten stimmten diesem Einwand zu. Nur durch eine mehrdimensionale Analyse seien sowohl die Ereignisse in Indonesien, als auch in Deutschland richtig zu verstehen.
Eine andere Frage beschäftigte sich mit der Rolle der Bürgergesellschaft. Eine Studierende fragte nach der Bedeutung einer aktiven Zivilgesellschaft für politische Veränderungen. Ihrer Meinung nach sei die Erwartung der indonesischen Staatsangehörigen an Demokratiesierungsprozesse zwar hoch, spiegele sich aber nicht notwendigerweise in einer aktiven Teilnahme wider. Auch an dieser Stelle verwies Peter Schiwy abermals auf die Montagsdemonstrationen in der ehemaligen DDR, die ein gutes Beispiel für die weitreichende Wirkung von aktiver Staatsbürgerschaft seien.
Mit einem Gongschlag geht es los
Die von der Bundesstiftung zur Aufarbeitung der SED-Diktatur und den Zeitungen BILD und DIE WELT entwickelte Ausstellung wurde nach dem Ende der Diskussion auf traditionell indonesische Weise durch jeweils einen Gongschlag der Redner eröffnet.
Die Ausstellung beleuchtet insbesondere die SED-Diktatur, sowie die Fluchtversuche derjenigen, die sich dem Regime nicht unterordnen wollten. In diesem Zusammenhang werden auch die „Mauerschützenprozesse“ thematisiert, die nach der Wende eine strafrechtliche Verfolgung der Täter möglich machten. Darüber hinaus stellt sie den Alltag im geteilten Berlin dar und erklärt, welche Ereignisse zum Mauerbau führten. Insgesamt wird so ein umfassendes Bild der ehemaligen DDR gezeichnet, das mit der Wiedervereinigung abschließt. Die Ausstellung selbst kann bis zum 15. Februar kostenlos an der Udayana Universität besichtigt werden.
Viele Studierende gingen nach der Podiumsdiskussion aufmerksam durch die Ausstellung oder suchten das Gespräch mit den Referenten. Dazu gehörte beispielsweise I Gusti Ngurah Gede A. P. Er gab im Gespräch mit mir an, vor der Veranstaltung nicht viel über die deutsche Teilung und die Wiedervereinigung gewusst zu haben. Sein Interesse sei nun aber durch die Diskussion und die Ausstellung geweckt worden. Außerdem sei das Thema für ihn als Studenten der internationalen Beziehungen besonders relevant. Allerdings könne man seiner Meinung nach die beiden Entwicklungen in Deutschland und Indonesien nur schwer vergleichen. Im ersten Fall sei es ja darum gegangen eine Grenze einzureißen, während in Indonesien reine Regimekritik geäußert wurde.
Ähnliche Bedenken äußerte auch eine andere Studentin der Udayana Universität, mit der ich mich unterhalten konnte. Santhi Pradayini Savitri sprach ebenfalls von den Unterschieden der beiden Situationen. Allerdings sei die Bevölkerung beider Staaten unzufrieden gewesen. Hier träfen sich, ihrer Meinung nach, die beiden Bewegungen. Ich fragte sie nach offenen Fragen, die sie mit in die Ausstellung gebracht habe. Aus ihrer Sicht sei unklar, was nach dem Mauerfall, beziehungsweise nach dem Sturz Suhartos die größten Herausforderungen für die jeweils nachfolgende Regierung gewesen seien.
Eine Aufgabe für morgen
Dass diese Fragen nicht einfach zu beantworten sind, wird schnell klar. Aber vielleicht, und das hoffe ich nach dieser Veranstaltung, nehmen sich junge Menschen dieses Themas an, sowohl in Indonesien, als auch in Deutschland. Denn sie bilden die Zivilgesellschaft von morgen. Es ist ihre Aufgabe herausfinden, ob die Mauer auch wirklich eingerissen ist, beziehungsweise ob die demokratischen Fortschritte auch wirklich verankert sind. Meine Gesprächspartnerin Santhi Pradayini Savitri hat dies durch folgende Frage auf den Punkt gebracht: „Wie kann man als junger Mensch nicht an zivilgesellschaftlich und politisch brisanten Themen, wie zum Beispiel der Korruptionsbekämpfung in Indonesien, interessiert sein?“. Dieser Frage kann ich mich an dieser Stelle nur anschließen. Am Beginn zivilgesellschaftlichen Engagements steht zivilgesellschaftliches Interesse.